Selasa, 16 Juni 2015

PLATO: AJARAN TENTANG IDE-IDE ATAU FORMA-FORMA

PLATO: AJARAN TENTANG IDE-IDE ATAU FORMA-FORMA a. Latar belakang kehidupan Plato Plato merupakan seorang filsuf Yunani, lahir di Athena tahun 427 SM. Dia murid dari Socrates dan guru dari Aristoteles. Ayahnya bernama Ariston, seorang bangsawan keturunan Raja Kodrus. Ibunya bernama Periktione keturunan Solon. Nama Plato yang sebenarnya adalah Aristokles. Karena dahi dan bahunya amat lebar, ia memperoleh julukan “Palto” dari seorang pelatih senamnya.[1] Awal mulanya Plato ingin bekerja sebagai politikus akan tetapi kematian Socrates memadamkan ambisinya untuk menjadi seorang politikus. Selama 8 tahun ia menjadi murid Socrates. Banyak ia bepergian sampai di Italia dan Sisilia. Setelah kembali dari pengembaraannya ia mendirikan sekolah “akademia”. Maksud Plato dengan mendirikan sekolah itu adalah memberikan pendidikan yang intensip dalam ilmu pengetahuan filsafat. Ia memegang pimpinan akademi itu selama 40 tahun.[2] b. Pengenalan tentang ide-ide dan benda-benda jasmani Idea-idea merupakan gambaran-gambaran pikiran yang memimpin pemikiran kita. Idea-idea ini bukan merupakan gambaran-gambaran pikiran yang kita ciptakan, melainkan tampil dalam pikiran kita secara murni dan sifat-sifatnya yang abadi serta tak berubah-ubah. Jika orang yang satu berbeda dari orang yang lain, maka yang demikian ini disebabkan setiap orang dengan caranya masing-masing ambil bagian dalam idea manusia. Idea ini bersifat abadi dan tak berubah-ubah, namun tak pernah diwujudkan secara penuh oleh manusia yang manapun. Itulah sebabnya terdapat perbedaan dalam bangun tubuh serta watak, dan itulah pula sebabnya manusia dapat berubah-ubah dan mati.[3] Menurut Plato esensi itu mempunyai realitas dan realitasnya ada di alam idea. Kebenaran umum itu ada bukan dibuat-buat bahkan sudah ada di alam idea. Plato menggambarkan kebenaran umum adalah rujukan bagi alam empiris contohnya kuda yang di alam empiris bermacam-macam warna dan bentuk serta jenisnya, tetapi kuda secara umum memiliki unsur umum yang membedakannya dengan sapi dan kambing. Unsur umum inilah yang ada di alam idea dan bersifat universal. Plato berhasil mensintesakan antara pandangan Heraklitos dan Parmenides, menurut Heraklitos segala sesuatu berubah, sedangakan Parmenides mengatakan sebaliknya, yaitu segala sesuatu itu diam.[4] Ambil contoh pohon, misalnya. Melalui akal budi, ide pohon itu dapat dipahami, sedang melalui kesaksian indera, terdapat bermacam-macam jenis dan bentuk pohon. Di dunia ide, hanya dikenal ide tentang pohon (satu dan tetap), tetapi didunia realitas, terdapat perbedaan, perubahan dan perkembangan bermacam-macam jenis pohon. Demikian halnya dengan manusia. Dalam dunia jasmani, dikenal bermacam-macam jenis manusia, tetapi di dunia ide, hanya ada satu, yaitu ide tentang manusia. Manusia sebagai makhluk jasmani, pasti akan mati, dank karena itu musnah. Tetapi, di alam ide manusia akan tetap abadi.[5] Jadi untuk mendamaikan pandangan antara Heraklitos dan Parmenides maka Plato berpendapat bahwa pandangan heraklitos benar, tetapi hanya berlaku pada alam empiris saja, sedangkan pendapat Parmenides juga benar, tetapi hanya berlaku bagi idea-idea bersifat abadi dan idea inilah yang menjadi dasar bagi pengenalan yang sejati.[6] c. Dunia ide-ide dan dunia Penampakan Plato dikenal sebagai filosof dualisme, artinya ia mengakui adanya dua kenyataan yang terpisah dan berdiri sendiri, yaitu dunia ide dan dunia bayangan (inderawi). Dunia ide adalah dunia yang tetap dan abadi , didalamnya tidak ada perubahan, sedangkan dunia bayangan adalah dunia yang berubah, yang mencakup benda-benda jasmani yang disajikan kepada indera.[7] Plato menyajikan pandangan filosofisnya dalam bentuk dialog-dialog. Plato menggunakan metode dialog, berlandaskan pemahamannya atas ide-ide Socrates. Bagian filsafat yang berusaha menjawab pertanyaan di sekitar hakikat dan asal-usul pengetahuan manusia disebut “Epistemologi” ( dari kata Yunani epistemos, yang berarti “pengetahuan”, dan logos, yang berarti “studi”. Epistemologi Plato didasarkan pada asumsinya bahwa “universe”, atau kadang-kadang ia disebut “forma” atau “idea”, merupakan satu-satu nya realitas sejati, sedangkan “partikula”, yaitu “zat atau bahan” atau “benda”, hanya merupakan penampakan dari realitas ini. Karena itu, dalam banyak pengalaman kita sehari-hari kita mebiarkan ilusi bahwa benda-benda dan obyek-obyek di sekeliling kita di dunia fisik merupakan realitas terdalam. Sebenarnya bagi manusia situasinya adalah bahwa idea-idea kita bukan hanya menguak keadaan terdalam subyektif, melainkan juga sifat sejati realitas itu sendiri. Oleh sebab itu, tugas hakiki filsuf adalah memperhatikn benda-benda di balik penampakannya belaka supaya dapat mengetahui idea-idea ini.[8] Dunia yang serba berubah dan serba jamak, dimana tiada hal yang sempurna, dunia yang diamati dengan indera, yang bersifat inderawi, dan dunia idea dimana tiada perubahan, tiada kejamakan (dalam arti ini, bahwa yang baik hanya satu, yang adil hanya satu dan yang indah hanya satu saja), yang bersifat kekal. Oleh Plato, jiwa dan tubuh, dipandang sebagai dua kenyataan yang harus dibeda-bedakan dan di pisahkan. Jiwa berdiri sendiri. Jiwa adalah sesuatu yang di kodrati, yang berasal dari dunia idea dan oleh karenanya bersifat kekal, tidak dapat mati. Fungsinya ada 3 yaitu : bagian rasional, yang di hubungkan dengan kebijaksanaan, bagian kehendak atau keberanian, yang dihubungkan dengan pengendalian diri. Jiwa adalah laksana sebuah kereta yang bersais, yang di tarik oleh dua kuda bersayap, yaitu kuda kebenaran, yang lari keatas, kedunia idea, dan kuda keinginan atau nafsu, yang lari kebawah , kedunia gejala. Dalam tarik-menarik itu akhirnya nafsulah yang menang, sehingga kereta itu jatuh ke dunia gejala dan di penjarakan jiwa. Agar supaya jiwa dapat dilepaskan daripada penjaranya, orang harus berusaha mendapatkan pengetahuan, yang menjadikan orang dapat melihat idea-idea, melihat keatas. Jiwa yang di dalam hidup ini berusaha mendapatkan pengetahuan itu kelak setelah orang mati, jiwanya akan menikmati kebahgian melihat idea-idea itu, seperti yang telah pernahdi alami sebelum di penjarakan di dalam tubuh.[9] d. Mitos Gua Plato mempunyai sebuah karya paling termasyhur yang berjudul Negara. Untuk memahami filsafat tentang idea, kita dapat mempergunakan sebuah perumpamaan yang kita temukan dalam buku ketujuh politea, yaitu “perumpamaan tentang gua”. Bayangkan sebuah gua; didalamnya ada sekelompok tahanan yang tidak dapat memutarkan badan, duduk, menghadap tembok belakang gua. Dibelakang para tahanan itu, di antara mereka dan pintu masuk, ada api besar. Diantara api dan para tahanan (yang mebelakangi mereka ada budak- budak yang mebawa pelbagai benda, patung dll. Yang dapat dilihat oleh para tahanan hanyalah bayang-bayang dari benda-benda itu. Karena itu, mereka berpendapat bahwa bayang-bayang itulah seluruh realitas. Namun ada satu dari para tahanan dapat lepas. Ia berpaling dan melihat benda-benda yang dibawa para budak dan api itu. Sesudah ia dengan susah payah keluar dari gua dan matanya mebiasakan diri pada cahaya, ia melihat pohon, rumah dan dunia nyata diluar gua. Paling akhir ia memandang keatas dan melihat matahari yang menyinari semuanya. Akhirnya, ia mengerti bahwa yang dulunya dianggap realitas bukanlah realitas yang sebenarnya, melainkan hanya bayang-bayang dari benda-benda yang hanya tiruan dari realitas sebenarnya dari gua. Namun, waktu ia kembali kedalam gua dan mengajak para tahanan lainnya untuk ikut keluar, mereka malah marah dan tidak mau meninggalkan gua.[10] Dengan perumpamaan gua ini, plato mau memperlihatkan bahwa apa yang pada umumnya dianggap kebenaran masih jauh sekali dari kenyataan yang sebenarnya, dan hanya kalau manusia berani membebaskan diri dari belenggu-belenggunya dan keluar dari gua itulah ia akan sampai pada kenyataan yang sesungguhnya. Bayang-bayang yang dilihat para tahanan itu adalah anggapan-anggapan biasa manusia tentang dunia, atau lebih tepatnya kata-kata yang mengungkapkannya. Benda-benda yang dibawa para budak adalah alam indrawi ( yang tercermin dalam kata-kata). Namun, benda dunia ini pun belum merupakan realitas yang sebenarnya. Untuk sampai pada realitas yang sebenarny, kita harus keluar dari gua itu. Apa realitas yang sebenarnya itu? Realitas yang sebenarnya bukan realitas indrawi. Realitas indrawi hanyalah cerminan realitas yang sebenarnya dalam medium materi ( semisal patung-patung merupakan duplikat dari yang nyata-nyata ada). Realitas yang sebenarnya bersifat ruhani dan oleh plato disebut idea. Idea itu bersifata abadi dan tak akan berubah, seperti halnya idea manusia. Manusia yang berwujud jasmani dan hidup didunia ini merupakan cerminan dari dunia ruhani. Manusia jasmani bisa mati kapan saja, tetapi hakikat manusia sebagai makhluk ruhani tidak akan pernah mati. Dunia jasmani merupakan cerminan dunia ruhani, dunia idea. Karena itu, kalau kita mau memahami kenyataan kita harus mengatasi dunia jasmani dan menjadi sanggup melihat idea-idea sendiri. Manusia dapat menangkap idea-idea itu apabila ia berpikir melalui konsep-konsep dan senatiasa berupaya mencari hakikat dan realitas yang bersifat indrawi dan bendawi. Hakikat-hakikat itu akan menunjuk kepada idea-idea yang abadi dan mendasari segala realitas itu.[11] FOOTNOTE: [1]Ali Maksum, Pengantar filsafat, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011, hal. 64-66 [2]. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, Yogyakarta: Kanisius, 1980, hal. 38 [3]Soejono Soemargo, sejarah Ringkas Filsafat Barat, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1992, hal. 22 [4]Amsal Bakhtiar, M.A, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT. RAJAGRAFINDO PERSADA, 2004, hal. 30 [5]Ali Maksum, op. Cit., hal. 70 [6]Amsal Bakhtiar, loc. Cit., hal. 30 [7]Drs. Rizal Mustansyir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal. 63 [8]Dr. Stephen Palmquis, Pohon Filsafat, Yoyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, hal. 51-53 [9]Hadiwijono, op. Cit., hal.41-42 [10]Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika, Yogyakarta: Kanisius, 1997, hal.15-16 [11]Ali Maksum, op. Cit,. hal. 71-72 DAFTAR PUSTAKA Maksum, Ali. 2011. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yoyakarta: Kanisius. Soemargo, Soejono. 1992. Sejarah Ringkas Filsafat Barat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Bakhtiar, Amsal. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada. Mustansyir, Rizal dkk. 2003. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka pelajar. PalmQuis, Stephen. 2007. Pohon Filsafat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Magnis, Franz. 1997. 13 Tokoh Etika. Yogyakarta: Kanisius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar